Cari Blog Ini

18 Februari 2011

Berawal dari Aksi Heroik Pedagang Buah


Mohamed Bouazizi, seorang sarjana yang juga pedagang buah (kaki lima) yang dirampas lapak dagangannya oleh polisi kemudian membakar diri hingga mati, Minggu (9/1). Aksi heroiknya memicu demonstrasi besar-besaran di Tunisia yang berujung jatuhnya pemerintahan Zene Abidin Ben Ali setelah berkuasa selama 23 tahun. Ben Ali kini dalam perlindungan keluarga kerajaan Saudi setelah ditolak suakanya oleh Prancis.

Ben Ali mulai berkuasa Nopember 1987, setelah berhasil menggulingkan penguasa sekuler, Habib Bourguiba, yang berkuasa sejak Tunisia mendapatkan kemerdekaan dari Prancis. Penggulingan Bourguiba itu tanpa darah. Bourguiba digulingkan Ben Ali pada 7 November 1987. Sejak Ben Ali berkuasa mengambil alih kekuasaan, arah kebijakan politik Tunisia cenderung pro Barat.

Apa yang dialami Ben Ali mirip dengan kisah Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Praktis demokrasi sekadar lipstik agar terkesan demokratis di mata rakyat tetapi pemilu diselenggarakan dengan penuh kecurangan. Kekuasaan bertumpu pada segelintir kolega dan kerabat yang menguasai jalannya ekonomi monopoli, sementara institusi militer menjadi pilar penopang kekuasaan merepresi kelompok oposisi. Praktik ini menjadi ciri umum pemerintahan diktator melanggengkan kekuasaan politik.

Dalam kasus ini, Tunisi memang agak berbeda, di mana militer dijadikan anak tiri sementara insitusi kepolisian menjadi anak emas Ben Ali. Tentara yang jumlahnya 35.000 orang tak pernah mengalami modernisasi dengan alasan tak ada ancaman militer. Jumlah ini juga paling sedikit dibandingkan militer di negara Arab lainnya. Berbeda dengan tradisi di Arab, militer Tunisia memang tidak memiliki tradisi campur tangan terhadap politik, sehingga gerakan rakyat menuntut perubahan dengan mudah mendapat dukungan dari militer.

Pada 2009, Ben Ali kembali terpilih untuk berkuasa selama lima tahun lewat pemilu yang tidak demokratis, yang direspons masyarakat miskin dan pengangguran lewat gelombang demonstrasi. Mereka memprotes rezim otoriter Ben Ali yang tidak mampu memberikan masa depan layak.

Jatuhnya Ben Ali dari tahta kepresidenan kemudian digantikan PM Mohammed Ghannouchi, tidak meredakan kemarahan para demonstran yang menyerukan reformasi total. Ghannouchi masih dianggab bagian dari rezim Ben Ali.

Di pihak lain, kejatuhan rezim Ben Ali menjadi berita gembira bagi rakyat di negara-negara Arab dan pemerintahan dunia lainnya. Bouazizi yang melakukan hara kiri menggerakkan protes baru di negara-negara Arab. Di Mesir tiga orang membakar diri, kemudian diikuti seorang warga Aljazair. Aksi membakar diri ala Bouazizi sontak menjadi gerakan baru memancing emosi publik. Beberapa negara Arab mengalami pergolakan politik seperti Sudan, Jordania, Aljazair dan Mesir diwarnai aksi protes jalanan yang selama ini jarang terjadi.

Di Mesir misalnya, beberapa hari sebelum demonstrasi besar-besaran, pemerintah telah memblokir situs jejaring sosial twitter dan facebook yang dianggap membahayakan keamanan negara. Namun di tengah pemblokiran jejaring virtual itu, aksi demontrasi besar-besaran tetap berlangsung hingga kini dan menewaskan lebih dari seratus orang dalam aksi menuntut Mubarak mengakhiri rezim kekuasaannya.

Seperti diketahui, di tengah aksi demonstrasi besar-besaran, Mubarak tetap mengumumkan pembubaran kabinet dan menunjuk kepala intelijen Omar Suleiman sebagai wakil presiden. Pembubaran kabinet dan pergantian wakil presiden tidak mengakhiri aksi demonstrasi yang menuntut berakhirnya rezim Mubarak yang telah berkuasa 30 tahun.

Demonstrasi besar-besaran di Tunisia dan Mesir menjadi perbincangan hangat di dunia internasional, seakan mengesahkan teori efek domino yang akan berdampak ke beberapa Negara Timur Tengah. Pemerintahan status quo dibuat cemas dan menanti perkembangan aksi rakyat di Mesir, bahkan raja Arab Saudi mengecam aksi demonstrasi di Mesir dan pemerintah Cina memblokir kata Mesir di internet. Mesir memang menjadi halaman depan Timur Tengah, di mana Mesir memiliki posisi kunci di kawasan itu.

Israel dan Amerika juga dibuat cemas menanti arah pergolakan politik di Mesir. Kedua negara ini khawatir pemerintahan pasca Husni Mubarak jatuh di tangan kelompok Islam garis keras atau kelompok yang berseberangan dengan kepentingan politik Amerika, mengingat negara yang berbatasan Palestina dan Israel itu menentukan arah hubungan Arab-Israel ke depan.

Amerika yang sering menganjurkan demokratisasi di dunia menetapkan standar ganda terhadap pemimpin otoriter yang pro Amerika. Ben Ali, Mubarak dan pemimpin Arab lainnya adalah pemimpin yang sangat pro terhadap Amerika, sementara Saddam Husein ditumbangkan lewat invasi tahun 2003 atas nama demokrasi dan HAM. Amerika hanya mengambil posisi aman wait and see merespons aksi protes di Mesir. Mohammed El Baredai juga menyesalkan tindakan Amerika yang hanya menyerukan dialog di Mesir tanpa memperlihatkan dukungan secara total.

Demokratisasi di Timur Tengah menjadi pisau bermata dua bagi Amerika. Di sisi lain bisa menjadi bumerang bagi kepentingan Amerika. Kemenangan PIS tahun 1991 meraih 54 persen suara (81 persen parlemen) di Aljazair kemudian dianulir oleh militer didukung Amerika, dan kemenangan mutlak Hamas pada Pemilu 2006 lalu diboikot Amerika. Standar ganda Amerika menjadi catatan buruk bagi berlangsungnya praktik demokrasi di Timur Tengah dan negara-negara laiannya. Pergolakan di Timur Tengah sekaligus menjadi ujian bagi Amerika dan negara-negara penganjur demokratisasi, apakah Tunisia, Mesir dan negara-negara Arab yang bergejolak saat ini akan kembali tersandera pada kepentingan Amerika atau akan melahirkan pemerintahan independen yang pro rakyat.

Kejadian itu mengingatkan Indonesia pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 atas desakan rakyat. Awalnnya Soeharto juga disokong oleh Amerika untuk mengadang laju perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Bahkan Timor-Timur sebagai negara merdeka juga diinvasi berdasarkan rekomendasi Amerika untuk menahan laju efek domino komunisme, namuns setelah berakhirnya perang dingin, praktis dukungan Amerika melemah terhadap rezim Soeharto yang pada akhirnya rontok di tangan kekuatan rakyat.

Timor Timur yang pernah berada dalam wilayah Indonesia akhirnya lepas pasca referendum. Pasca-reformasi, praktis Indonesia disibukkan dengan praktik demokrasi prosedural atau lipstick demokrasi, sementara kekayaan alam tidak dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat, malah kembali jatuh di tangan asing atas legalisasi UU dari wakil rakyat.

Rakyat pun kembali di titik nadir. Pengangguran dan kemiskinan kian mudah ditemukan. Bunuh diri akibat kemiskinan menjadi pemberitaan sehari-hari. Harga-harga sembako--seperti menjelang jatuhnya Soeharto--kini melambung tinggi, daya beli masyarakat melemah, sementara wakil rakyat dan pemerintah disibukkan dengan perkara korupsi yang tak ada ujung penyelesaiannya.

Jika dibandingkan dengan Tunisia, Indonesia masih di bawah soal pertumbuhan ekonomi, bahkan pendidikan di Tunisia juga berlangsung secara gratis mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang sering jadi acuan pemerintah, ternyata hanya dinikmati segelintir elite sebagaimana pertumbuhan di Tunisia, rakyat yang memendam amarah yang terbelit kemiskinan, dan kelas menengah yang terancam miskin, akan menjadi bahan bakar perubahan. Kondisi kritis ini mesti menjadi alarm bagi pemerintah untuk berbenah diri dan mengoreksi arah kebijakan politiknya. (hk/dbs)