Cari Blog Ini

08 Februari 2012

Menegakkan Marwah Pers




Hari ini, Kamis 9 Februari 2012, pers Indonesia berulang tahun ke-66. Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini, dipusatkan di Kota Jambi, Provinsi Jambi. Seperti biasanya, peringatan HPN dihadiri Presiden Republik Indonesia (RI). Demikian pula untuk HPN 2012, Presiden SBY direncanakan hadir.
Surat kabar Harian Umum Haluan yang sedang Anda baca ini, telah terbit sejak tahun 1948. Jika dikorelasikan dengan HPN, maka Haluan hanya dua tahun lebih muda dari peringatan HPN. Haluan, termasuk salah satu Koran tertua di Indonesia. Koran lainnya di tanah air yang usianya juga sekitar 60 tahun yang masih eksis sampai kini antara lain Waspada (terbit sejak 1947, di Medan), Kedau¬latan Rakyat ( sejak 1945 di Yogya), Pedo¬man Rakyat (sejak 1949 di Makassar), dan Suara Merdeka (sejak 1950 di Semarang).
Beberapa koran lainnya, seperti Harian Merdeka (Jakarta) dan Surabaya Post (Surabaya) yang juga terbit di masa itu, kini sudah tidak terbit lagi. Surat kabar Haluan terbit pertama kali di Bukittinggi tahun 1948, ketika kota tersebut mempunyai posisi sangat penting selama perjuangan semasa Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Pada momentum HPN ke-66 ini, kita tidak akan mengupas lebih mendalam soal sejarah HPN atau sejarah koran-koran yang tercatat dalam sejarah persuratkabaran di Indonesia. Sesuai dengan judul di atas, kita justru akan menyinggung soal penegakkan marwah pers.
Definisi kata-kata marwah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata-kata muruah yang berarti kehormatan diri; harga diri; nama baik. Muncul pertanyaan apakah pers Indonesia memiliki marwah, kehormatan diri; harga diri; nama baik?. Apakah pers butuh marwah? Jawaban atas pertanyaan apakah pers Indonesia memiliki marwah, tentu saja punya. Lalu jawaban atas pertanyaan kedua, juga tegas, bahwa pers butuh marwah.
Tapi kalau pertanyaan di atas kita tujukan ke berbagai pihak, jawabannya akan beragam. Ada yang menilai pers Indonesia masih memiliki marwah, ada yang menjawab marwahnya luntur, telah tergadai, diperjualbelikan, dan bahkan mungkin ada pula yang menyimpulkan pers Indonesia sudah tak bermarwah lagi. Jawaban tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi pers yang ada di sekeliling para penjawab.
Jujur saja, hal itulah yang dialami perusahaan pers dan wartawan sekarang ini. Idealnya, sudah jelas, pers Indonesia mesti memiliki marwah. Marwah pers itu sendiri akan tegak, jika wartawannya profesional dan perusahaan persnya profesional. Untuk menuju wartawan dan perusahaan pers yang profesional maka isi “Piagam Palembang” yang disepakati pada HPN 2010 di Palembang, Sumatera Selatan mesti dilaksanakan. Isi penting dari piagam itu di antaranya; melaksanakan sepenuhnya “Kode Etik Jurnalistik (KEJ)”, “Standar Perusahaan Pers (SPS)”, “Standar Perlindungan Wartawan (SPW)” dan “Standar Kompetensi Wartawan (SKW)”.
Empat hal di atas adalah kunci utama menuju wartawan dan perusahaan pers yang profesional. Kode etik jurnalistik adalah pakem bagi wartawan di dalam menjalankan tugas-tugasnya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu juga dengan standar perusahaan pers juga wajib dilaksanakan. Perusahaan pers dan wartawan mesti mematuhi Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang Pers. Perusahaan pers mesti menggaji wartawan dengan upah yang layak sesuai dengan ketentuan berlaku, sehingga wartawannya bisa menjalankan tugas dan kewajiban secara profesional.
Standar perlindungan wartawan juga menjadi sebuah keharusan bagi perusahaan pers melaksanakannya. Seorang reporter tidak bertanggung jawab secara langsung atas dampak berita yang ditulisnya setelah terbit. Termasuk ketika berhadapan dengan penegak hukum. Yang bertanggung jawab langsung adalah pemimpin media yang bersangkutan. Standar Kompetensi Wartawan (SKW) juga mutlak dilaksanakan demi menegakkan marwah pers. Berdasarkan ekspos website Dewan Pers (dewanpers.or.id), saat ini sudah 1.523 wartawan yang lulus Ujian Kompetensi Wartawan (UKW). SKW terdiri dari tingkat muda, madya dan utama. Dengan adanya SKW ini, nantinya wartawan yang tabiatnya sering dikeluhkan akan tersaring sendiri.
Berbicara tentang penegakkan marwah pers, tidak bisa dilepaskan dengan kondisi hubungan antarperusahaan pers. Dalam eksistentsinya, lumrah terjadi persaingan antarperusahaan pers yang satu dengan yang lainnya, baik dalam urusan bisnis maupun dalam menurunkan berita. Namun, persaingan itu tentu dalam kerangka kompetisi sehat. Bukan saling membunuh. Kehadiran kelompok perusahaan pers yang besar jangan membawa misi memberangus perusahaan pers yang kecil. Praktik yang terjadi sekarang ini justru seperti itu.
Kehadiran kelompok perusahaan pers besar di daerah-daerah justru memberangus perusahaan pers yang telah ada di daerah terkait. Itu sangat kentara dengan program-program yang dilaksanakan media-media dari kelompok besar tersebut. Melalui ‘jurus-jurus membunuh’ yang diterapkan perusahaan pers kelompok besar itu, perusahaan pers yang telah lebih dahulu ada di daerah menjadi susah bernafas, bahkan tak sedikit yang mati. Jika demikian, tentu keinginan untuk membangun pers bermarwah akan semakin sulit diwujudkan. Ketika pers Indonesia dikuasai oleh dua, tiga atau empat kelompok perusahaan pers saja, maka pers akan kehilangan marwah. ***